Wednesday, January 20, 2010

Lahirnya kelompok intelektual

Oleh: Shanty, Dina, Asri
Sistem diskriminasi rasial terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Sistem yang dikembangkan tersebut dikenal dengan Stelsel Kolonial. Masyarakat terbelah dalam beberapa strata yaitu orang Belanda asli/totok, Belanda Campuran, Timur Asing dan Bumi Putra (pribumi). Masyarakat pribumi ini masih memiliki tingkatan-tingkatan seperti golongan bangsawan, priyayi dan rakyat biasa.

Salah satu ciri masyarakat terjajah, adalah terbatasnya kaum cerdik pandai (intelektual). Jika ingin merubah semua itu tentunya bagaimana rakyat dapat memperoleh kesempatan belajar yang selama ini terjadi diskriminasi antara orang Belanda dengan kaum Bumi Putra. Dalam rangka mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran ternyata masih ada sekelompok masyarakat di Belanda yang peduli akan nasib rakyat Indonesia itu.

Pada tahun 1898, dalam majalah de Gids, dia menulis artikel berjudul Een Ereschuld (Hutang Kehormatan atau Hutang Budi). Dijelaskannya bahwa Belanda banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Telah begitu besar kekayaan Indonesia mengalir ke Belanda (politik batig slof). Untuk itu, perlu ada pengembalian kepada bangsa Indonesia oleh pemerintah Belanda, karena itu merupakan suatu hutang.

Terbatasnya kaum cerdik pandai oleh karena bidang pendidikan bukan menjadi prioritas Belanda. Pada masa VOC keinginan Belanda adalah bagaimana memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya diambil kebijakan monopoli perdagangan. Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mengakibatkan rakyat Indonesia menderita.
sistem pendidikan kolonial bersifat diskriminatif. Pada mulanya, diperkenalkan Sekolah Kelas Dua untuk anak-anak pribumi dan Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak pegawai negeri, orang-orang yang punya kedudukan dalam masyarakat, dan masyarakat golongan “berpunya”. Bagi golongan Eropa dan para bangsawan disediakan Sekolah Rendah. Sejak Abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau Volksschool yang lamanya tiga tahun. Bagi yang akan melanjutkan, disediakan sekolah sambungan (Vervolgschool) selama dua tahun.
Perkembangan sistem pendidikan itu sebenarnya menjadi bumerang bagi Belanda di Indonesia. Walaupun sistem pendidikan Barat memperkenalkan sistem nilai Barat, akan tetapi rasa kebangsaan rakyat Indonesia tidaklah luntur. Hal itu terlihat dari munculnya semangat kebangsaan, yang kemudian menjadi sebuah gerakan. Muncullah tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan Surjadi Suryaningrat, tidak dapat dilepaskan dari adanya kemajuan dalam bidang pendidikan tersebut. Melalui ilmu yang diperoleh di bangku sekolah, kesadaran mereka justru tumbuh subur untuk menyusun kekuatan, yang kemudian menjelma menjadi organisasi modern. Semua itu tidak terlepas dari munculnya para intelektual yang akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional.

Untuk mendukung pelaksanaan Politik Etis, pemerintah Belanda mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik Asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi). Dengan Politik Asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadi suatu proses pembelandaan terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil. Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan unggul, sehingga politik Asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik. Belanda berperan sebagai Bapak dan Indonesia sebagai anak yang masih harus dibina

Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbare Aschool). Disamping itu juga ada beberapa sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normaal School
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Instituut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS (Geneeskundige Hogeschool).

Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pda tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi dokter Bumiputra (Inlandsch Arts). Sekolah ini diberi nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool).

Di atas telah dikatakan bahwa munculnya sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis. Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan mengingat salah satu dari Trilogi van Deventer secara eksplisit menyebutkan mengenai edukasi.

No comments:

Post a Comment