Sunday, January 24, 2010

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Pada 5 Mei 2005, para aktifis Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pengambilan nama “Utang Kehormatan” terinspirasi oleh tulisan Dr. Theodor van Deventer –mantan pengacara di Semarang- tahun 1899 di majalah “de Gids” di Belanda dengan judul “Een Ereschuld” (Satu Utang Kehormatan), yang isinya merupakan kritik terhadap praktek-praktek kolonialisme Belanda di Bumi Nusantara.

Tulisan tersebut mendorong Pemerintah Belanda merubah kebijakan di tanah jajahannya, India-Belanda. Kebijakan baru tersebut dinamakan “Politik Etis” (Ethische politiek), di mana kemudian dimulai memberikan pendidikan yang lebih luas untuk pribumi, yang sebelum itu hanya dinikmati oleh segelintir elit pribumi yang mendukung Belanda.

Tujuan kegiatan KUKB bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk mewujudkan suatu REKONSILIASI YANG BERMARTABAT (Reconciliation with dignity) antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda.

Hal ini pertama kali kami sampaikan kepada Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Baron Schelto van Heemstra, ketika kami sebagai pimpinan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia, pada 3 April 2002 diundang beliau ke Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Tujuan rekonsiliasi ini juga kami sampaikan kepada Bert Koenders dan Angelien Eijsink, anggota Parlemen dari Partij van de Arbeid, ketika pimpinan KUKB bertemu dengan mereka di Gedung Parlemen Belanda pada 19 Desember 2005, demikian juga dalam surat (email) KUKB kepada Krista van Velzen, anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis kami sampaikan tujuan kegiatan KUKB.

Adalah suatu kenyataan, bahwa –disukai atau tidak- hubungan Indonesia dengan Belanda telah terjalin lebih dari 400 tahun. Selain banyak sisi negatif bagi bangsa yang terjajah, tak perlu dipungkiri, bahwa juga ada sisi potitif dari masa penjajahan Belanda, yang di beberapa daerah berlangsung lebih dari 300 tahun. Juga perlu diingat, bahwa banyak orang Belanda yang sejak lebih dari 100 tahun lalu membela pribumi terjajah seperti Dr. Theodor van Deventer, Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Hendricus Sneevliet, Prof. Wim Wertheim, berjuang di pihak bangsa Indonesia secara politis seperti Dr. Francois Eugene Douwes Dekker (Setia Budi), dan bahkan dalam perjuangan fisik seperti yang dilakukan oleh H. Poncke Princen.

Juga belakangan ini, di Belanda banyak orang Belanda yang tetap bersimpati kepada bangsa Indonesia dan terbuka untuk dialog secara jujur mengenai masa lalu hubungan Indonesia – Belanda, terutama generasi muda Belanda, yang menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai beban.

Namun Pemerintah Belanda sendiri sebagai institusi, hingga saat ini tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini digarisbawahi oleh Menlu Ben Bot dalam wawancara di Televisi Indonesia pada 19 Agustus 2005, di mana dia mengatakan, bahwa: “ ... and recognition is something you can only do once … so the transfer of sovereignty took place in 1949…”

Pada 20 Mei 2005, KUKB menyampaikan petisi kepada Pemerintah Belanda, yang isinya menuntut Pemerintah Belanda untuk:

1. Mengakui de jure Kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,

2. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia Atas Penjajahan, Perbudakan dan Pelanggaran HAM Berat, dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.

KUKB membedakan antara sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Belanda, dan sikap sebagian masyarakat Belanda terhadap Indonesia yang tidak hanya mendukung pengakuan terhadap kemerdekaan RI 17.8.’45, melainkan juga mendukung pemberian kompensasi kepada Indonesia.

Tuntutan KUKB ini ditujukan kepada Pemerintah Belanda, dan bukan kepada bangsa Belanda, juga bukan kepada mantan tentara Belanda, yang melakukan berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM lain di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. KUKB berpendapat, bukan hanya rakyat Indonesia yang menjadi korban agresi militer Belanda, yang dilakukan setelah Perang Dunia II selesai, dan setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan, melainkan tentara Belanda yang dikirim untuk berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, juga merupakan korban dari politik yang salah yang dijalankan Pemerintah Belanda waktu itu.

Juga tidak dilupakan para IndonesiĆ« weigeraars, yaitu para pemuda Belanda, yang antara tahun 1946 – 1949 menolak untuk berperang di Indonesia, sehingga lebih dari 1200 orang dijatuhi hukuman penjara atas pembangkangan mereka, dan mungkin ribuan lainnya melarikan diri ke luar Belanda atau bertahun-tahun menyembunyikan diri karena menolak perang kolonial Belanda waktu itu.

REKONSILIASI YANG BERMARTABAT yang kami maksud adalah, bukan hanya sekadar bersalaman dan saling memafkan, melainkan juga pemulihan kehormatan bagi semua, yang berarti:

1. Pengakuan resmi –de jure dan bukan hanya de facto- terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17.8.1945,

2. Pemulihan kehormatan mantan tentara Belanda yang berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,

3. Pemulihan kehormatan para Indonesiƫ weigeraars (pembangkang perang di Indonesia),

4. Kompensasi bagi para korban, janda dan keluarga korban agresi militer Belanda.

Menlu Belanda Ben Bot dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 mengakui bahwa: “In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history.”

Kebijakan yang menempatkan Belanda pada “sisi yang salah dari sejarah”, telah memakan banyak korban di kedua belah pihak.

KUKB juga sepakat dengan pernyataan beliau, bahwa : “ … Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation…”

Namun, pernyataan-pernyataan tersebut hanya akan menjadi lip services, apabila tidak diikuti langkah-langkah nyata dan tegas. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Belanda sebagai institusi yang bertanggungjawab -yang telah mengakui menjalankan politik yang salah- memperbaiki kesalahan dengan mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf dan memberi kompensasi kepada para korban dari kebijakan politik yang salah tersebut.

No comments:

Post a Comment