Sunday, January 24, 2010

Sejarah Pendidikan di Nusantara


Kata “guru” diserap dari bahasa sansekerta yang juga berarti “guru” yang arti harfiahnya adalah “berat”. Dalam agama Hindu guru adalah pemandu spiritual/kejiwaan bagi para muridnya, guru juga bisa berarti simbol bagi suatu tempat yang suci yang berisi ilmu (vidya). Bahkan dalam agama Budha murid memandang gurunya sebagai jelmaan dari Budha sendiri atau Bodhisattva yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Sejarah nusantara mencatat institusi pendidikan formal tertua didirikan di Kerajaan Sriwijaya antara 427 – 1197 SM, sekolah ini merupakan bagian dari Universitas Nalanda yang berada di sebelah tenggara Kota Patna, India. Salah satu universitas tertua di dunia ini pernah mengakomodasi 10.000 murid dan 2.000 guru yang berasal dari berbagai bangsa termasuk dari Sriwijaya. Mereka yang menuntut ilmu disini belajar agama Budha dalam berbagai aliran terutama aliran Vajrayana, Mahayana, dan Theravada.
Setelah sekolah itu hancur sejalan dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi institusi pendidikan formal yang terorganisasi seperti sebelumnya. Memang kemudian setelah agama Islam masuk ke Nusantara muncul institusi pendidikan seperti pesantren yang berdiri secara mandiri di banyak daerah namun tidak terorganisir dengan baik sehingga sangat tergantung pada figur pemimpinnya atau kiai-nya.Ketika itu secara umum pengertian dari kata “guru” berkembang sangatlah luas, bahkan alam dan pengalaman hidup pun bisa menjadi guru bagi kita. Namun secara spesifik yang dimaksud disini adalah guru sebagai pengajar, sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya sehingga mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak paham menjadi paham mengenai berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka tidak hanya sebatas mengenai pengetahuan agama saja.
Sampai masa penjajahan Belanda seseorang yang dipanggil “guru” adalah seseorang yang memiliki ilmu lebih tinggi dalam bidang tertentu yang kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain misalnya seseorang yang mendalami agama Islam kemudian mengajarkan ilmu membaca kitab suci kepada orang lain disebut guru ngaji, atau seseorang yang pandai beladiri mendirikan padepokan pencak silat supaya orang lain bisa belajar silat disebut guru silat.


Pada tanggal 17 September 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:


1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi

Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief). Pengaruh politik etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang istrinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri, surat-surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Abendanon juga menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah.


Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan (Toer, 2003) :

“ Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, ya bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra-putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang”

Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda ; P.A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan (Toer, 2003).


Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan ini terbatas untuk pendidikan warga Belanda saja dan segelintir warga pribumi terutama dari kelas sosial tertentu saja. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan.


Setelah 1901 pendidikan relatif lebih merata dan setiap penduduk pribumi memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar. R.A Kartini mendirikan sekolahnya pada akhir 1903 di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang dan diteruskan oleh keluarga Van Deventer pada tahun 1912 dinamakan Sekolah Kartini. Pada tahun 1918 Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah formalnya Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai sekolah kader di Yogyakarta, sedangkan Perguruan Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922 didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.


Bagi warga elite Eropa waktu itu, seorang anak mendapatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS (Holandsche Indische School), maka ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 dinamakan HIS), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908.
Selain sekolah-sekolah swasta pribumi pertama tersebut, pada jalur resmi pendidikan di Hindia Belanda seorang anak pribumi masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Voorbels), sehingga langsung masuk HIS dan selama 7 tahun belajar untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chinesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa. HIS ini kemudian yang diadaptasi pemerintah Republik Indonesia (RI) menjadi Sekolah Dasar (SD) yang saat ini dilalui dalam jangka waktu 6 tahun.
Selain HIS pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Tweede Inlandsche School atau Sekolah Kelas Dua atau Sekolah Ongko Loro merupakan Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar dengan masa pendidikan selama Tiga Tahun dan tersebar di seluruh pelosok desa. Maksud dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekedar memberantas buta huruf dan mampu berhitung. Bahasa pengantar adalah bahasa daerah dengan guru tamatan dari HIK (Holandsche Indische Kweekschool) . Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada Schakel School selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajat dengan Hollandsche Indische School. Tokoh Indonesia seperti HAMKA, Soeharto, dan Adam Malik merupakan lulusan sekolah ini.
Guru-guru formal pribumi pertama adalah guru tamatan HIK yang kemudian mengajar di Sekolah Kelas Dua ini. Kweekschool adalah salah satu sistem pendidikan di zaman Hindia Belanda, terdiri atas HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang, salah satu lulusan HKS Bandung adalah Ibu Soed. Europese Kweek School (EKS, sebangsa Seolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda atau pribumi ataupun orang Arab/Tionghoa yang mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada di Surabaya. Pada waktu itu misalnya satu kelas ada 28 orang, maka terdiri 20 orang Belanda, 6 orang Arab/Tionghoa, dan 2 orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa, salah satu lulusan HCK adalah P.K. Ojong yang sekarang menjadi CEO Grup Kompas-Gramedia. Di Muntilan ada Katholieke Kweek School atau sebangsa seminari khusus untuk guru beragama Katholiek yang didirikan pada tahun 1911 dengan nama Kolese Xaverius Muntilan, lulusannya (yang pandai main musik) adalah antara lain Cornel Simanjuntak. Setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan, maka beliau juga terinspirasi mendirikan bagi orang Islam, yaitu Muallimin di Yogyakarta pada tahun 1918.
Setelah seorang anak Eropa mendapatkan ijazah ELS atau seorang anak pribumi mendapatkan ijazah sekolah dasar dari HIS selama 7 tahun atau persamaannya (Sekolah Kelas Dua + Schakel School) selama 3 tahun + 5 tahun (8 tahun), seorang anak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah menengah (MULO, HBS, atau Kweekschool). Pada masa itu seorang anak dari golongan eropa atau elite pribumi dapat meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School). HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan. Sukarno merupakan salah satu lulusan HBS Surabaya sebelum melanjutkan kuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekarang ITB (Institut Teknologi Bandung).
Sedangkan bagi kalangan pribumi biasa bisa melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti "Pendidikan Dasar Lebih Luas". MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawedanaan (kota kabupaten). Jenjang pendidikan ini dilalui selama 3 tahun, tidak seperti HBS yang lulusannya bisa langsung melanjutkan pendidikan tinggi di jenjang kuliah, lulusan MULO harus melanjutkan terlebih dahulu di AMS (Algemeene Midelbare School) selama 3 tahun lagi, sekolah ini sekarang disebut SMA (Sekolah Menengah Atas)
Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hooge School - didirikan tahun 1920 - sekarang - Institut Teknologi Bandung - ITB), RHS di Jakarta (Rechts Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), atau GHS di Jakarta (Geneeskudige Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta) sebelumnya sekolah ini bernama STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang berdiri sejak 1853, ke Bogor di Landbouw Hooge School - didirikan tahun 1940 - sekarang Institut Pertanian Bogor - IPB. Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di semua kabupaten, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan
AMS memiliki beberapa jurusan, Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPS, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS saja. Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPA, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., atau guru botani menyandang gelar dokter (Arts).
Selain melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, lulusan HIS juga bisa melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan khusus pamong praja seperti OSVIA (Opleiding School voor Indlandsch Ambtenaren) selama 5 tahun untuk langsung bekerja sebagai pamong praja, sekolah ini juga disebut “sekolah menak” karena murid-muridnya kebanyakan adalah anak para priyayi seperti bupati, patih, atau wedana. OSVIA didirikan pada tahun 1879 di Bandung. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah yang serupa yaitu MBS (Middlebare Besture School) di Malang. Sekarang sekolah ini berubah nama menjadi IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) yang ada di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) yang ada di Jakarta.

Pendidikan Masa Politik Etis di Indonesia

Berbicara masalah pendidikan tentu kita akan melihat kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang sedang mengalami sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat melihat dari beberapa kali pergantian kurikulum yang terjadi di Indonesia. Sekarang mulai diterapkannya kurikulum baru yang bernama KTSP, yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dalam upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.

Melihat kenyataan itu tentu kita akan berkaca kepada masa lalu bagaimana proses pendidikan di Indonesia ini dimulai. Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan, pertama dimulai dari praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budha, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonila Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan hingga sekarang.
Karena Belanda lebih lama menjajah Indonesia, maka sistem pendidikan Belanda lah yang lebih melekat di Indonesia, banyak contohnya antara lain dari bentuk sekolah, kelas dan susunan tempat duduk, sama persis dengan pendidikan zaman Belanda dulu. Maka pada tulisan ini akan dibahas mengenai pendidikan Zaman Kolonial Belanda.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA PELAKSANAAN POLITIK ETIS KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA
Seperti disebutkan tadi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan, salah satunya adalah pendidikan zaman kolonial Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Hal ini didasari oleh apa yang disebut dengan Trilogi Van Deventer. Sebelum trilogi Van Deventer dicetuskan, segala kebijakan politik eksploitasi diarahkan pada pengerukan kekayaan bumi Indonesia untuk kepentingan penjajah. Sebagai puncak dari politik eksploitasi adalah dengan diadakannya tanam paksa (cultuur stelsel).
Dengan diterapkannya cultuur stelsel semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia. Melihat keadaan rakyat seperti itu membuat sebagian tokoh politik Belanda, terutama yang berpandangan humanis dan sosial demokrat. Mereka menyampaikan usul kepada parlemen Belanda bahwa sudah waktunya Belanda memikirkan nasib bangsa Indonesia. Mereka mendesak kepada pemerintah Belanda untuk meninjau kembali kebijakan politiknya terhadap Indonesia. Hal ini karena Belanda sudah dinilai cukup banyak mengambil kekayaan alam dari Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri. Maka pada tahun 1901 muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.

Dengan dilaksanakannya politik ETIS di Indonesia akhirnya anak-anak bumi putera mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan meskipun hanya pada tingkat rendah. Akan tetapi, anak-anak bumi putera yang berasal dari golongan tertentu dapat memperoleh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Bahkan ada diantaranya yang dapat mengenyam pendidikan Barat.Pada dasarnya politik ETIS sendiri hanyalah siasat dari pemerintah Belanda. Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda, pemberlakuan politik ETIS di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka. Hal ini telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang administrasi. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain politik ETIS diselewengkan menjadi politik Assosiasi, artinya di dalam pelaksanaannya di arahkan untuk kepentingan Belanda.
Ada 5 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, yaitu :
- Sistem Dualisme
Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
- Sistem Korkondansi
Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
- Sentralisasi
Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran.
- Menghambat Gerakan Nasional
Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.
- Perguruan swasta yang militan
Salah satu sekolah swasta yang sangat gigih menetang kekuasaan kolonial ialah sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.

Secara umum pembagian sistem pendidikan zaman kolonial Belanda adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi (THS, GHS).
Salah satu jenis sekolah pada pendidikan dasar adalah ELS (Europeesche Lagare School) adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Sebagai bahasa pengantar pembelajarannya adalah Bahasa Belanda. Pada awalnya ELS hanya diperuntukkan bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Namun, sejak 1903 kesempatan juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa.

Pada tingkatan pendidikan lanjutan sebagai contohnya adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan sekolah yang setara dengan tingkat SMP sekarang. MULO berarti "pendidikan dasar lebih luas". MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawadanaan (kota kabupaten).
Untuk pendidikan tinggi ada THS (Technische Hooge School) di Bandung yang sekarang menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), RHS (Rechts Hooge School) di Jakarta yang sekarang menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan GHS (Geneeskudige Hooge School) di Jakarta yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Pada 5 Mei 2005, para aktifis Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pengambilan nama “Utang Kehormatan” terinspirasi oleh tulisan Dr. Theodor van Deventer –mantan pengacara di Semarang- tahun 1899 di majalah “de Gids” di Belanda dengan judul “Een Ereschuld” (Satu Utang Kehormatan), yang isinya merupakan kritik terhadap praktek-praktek kolonialisme Belanda di Bumi Nusantara.

Tulisan tersebut mendorong Pemerintah Belanda merubah kebijakan di tanah jajahannya, India-Belanda. Kebijakan baru tersebut dinamakan “Politik Etis” (Ethische politiek), di mana kemudian dimulai memberikan pendidikan yang lebih luas untuk pribumi, yang sebelum itu hanya dinikmati oleh segelintir elit pribumi yang mendukung Belanda.

Tujuan kegiatan KUKB bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk mewujudkan suatu REKONSILIASI YANG BERMARTABAT (Reconciliation with dignity) antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda.

Hal ini pertama kali kami sampaikan kepada Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Baron Schelto van Heemstra, ketika kami sebagai pimpinan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia, pada 3 April 2002 diundang beliau ke Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Tujuan rekonsiliasi ini juga kami sampaikan kepada Bert Koenders dan Angelien Eijsink, anggota Parlemen dari Partij van de Arbeid, ketika pimpinan KUKB bertemu dengan mereka di Gedung Parlemen Belanda pada 19 Desember 2005, demikian juga dalam surat (email) KUKB kepada Krista van Velzen, anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis kami sampaikan tujuan kegiatan KUKB.

Adalah suatu kenyataan, bahwa –disukai atau tidak- hubungan Indonesia dengan Belanda telah terjalin lebih dari 400 tahun. Selain banyak sisi negatif bagi bangsa yang terjajah, tak perlu dipungkiri, bahwa juga ada sisi potitif dari masa penjajahan Belanda, yang di beberapa daerah berlangsung lebih dari 300 tahun. Juga perlu diingat, bahwa banyak orang Belanda yang sejak lebih dari 100 tahun lalu membela pribumi terjajah seperti Dr. Theodor van Deventer, Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Hendricus Sneevliet, Prof. Wim Wertheim, berjuang di pihak bangsa Indonesia secara politis seperti Dr. Francois Eugene Douwes Dekker (Setia Budi), dan bahkan dalam perjuangan fisik seperti yang dilakukan oleh H. Poncke Princen.

Juga belakangan ini, di Belanda banyak orang Belanda yang tetap bersimpati kepada bangsa Indonesia dan terbuka untuk dialog secara jujur mengenai masa lalu hubungan Indonesia – Belanda, terutama generasi muda Belanda, yang menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai beban.

Namun Pemerintah Belanda sendiri sebagai institusi, hingga saat ini tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini digarisbawahi oleh Menlu Ben Bot dalam wawancara di Televisi Indonesia pada 19 Agustus 2005, di mana dia mengatakan, bahwa: “ ... and recognition is something you can only do once … so the transfer of sovereignty took place in 1949…”

Pada 20 Mei 2005, KUKB menyampaikan petisi kepada Pemerintah Belanda, yang isinya menuntut Pemerintah Belanda untuk:

1. Mengakui de jure Kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,

2. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia Atas Penjajahan, Perbudakan dan Pelanggaran HAM Berat, dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.

KUKB membedakan antara sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Belanda, dan sikap sebagian masyarakat Belanda terhadap Indonesia yang tidak hanya mendukung pengakuan terhadap kemerdekaan RI 17.8.’45, melainkan juga mendukung pemberian kompensasi kepada Indonesia.

Tuntutan KUKB ini ditujukan kepada Pemerintah Belanda, dan bukan kepada bangsa Belanda, juga bukan kepada mantan tentara Belanda, yang melakukan berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM lain di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. KUKB berpendapat, bukan hanya rakyat Indonesia yang menjadi korban agresi militer Belanda, yang dilakukan setelah Perang Dunia II selesai, dan setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan, melainkan tentara Belanda yang dikirim untuk berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, juga merupakan korban dari politik yang salah yang dijalankan Pemerintah Belanda waktu itu.

Juga tidak dilupakan para IndonesiĆ« weigeraars, yaitu para pemuda Belanda, yang antara tahun 1946 – 1949 menolak untuk berperang di Indonesia, sehingga lebih dari 1200 orang dijatuhi hukuman penjara atas pembangkangan mereka, dan mungkin ribuan lainnya melarikan diri ke luar Belanda atau bertahun-tahun menyembunyikan diri karena menolak perang kolonial Belanda waktu itu.

REKONSILIASI YANG BERMARTABAT yang kami maksud adalah, bukan hanya sekadar bersalaman dan saling memafkan, melainkan juga pemulihan kehormatan bagi semua, yang berarti:

1. Pengakuan resmi –de jure dan bukan hanya de facto- terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17.8.1945,

2. Pemulihan kehormatan mantan tentara Belanda yang berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,

3. Pemulihan kehormatan para Indonesiƫ weigeraars (pembangkang perang di Indonesia),

4. Kompensasi bagi para korban, janda dan keluarga korban agresi militer Belanda.

Menlu Belanda Ben Bot dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 mengakui bahwa: “In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history.”

Kebijakan yang menempatkan Belanda pada “sisi yang salah dari sejarah”, telah memakan banyak korban di kedua belah pihak.

KUKB juga sepakat dengan pernyataan beliau, bahwa : “ … Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation…”

Namun, pernyataan-pernyataan tersebut hanya akan menjadi lip services, apabila tidak diikuti langkah-langkah nyata dan tegas. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Belanda sebagai institusi yang bertanggungjawab -yang telah mengakui menjalankan politik yang salah- memperbaiki kesalahan dengan mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf dan memberi kompensasi kepada para korban dari kebijakan politik yang salah tersebut.

Wednesday, January 20, 2010

Lahirnya kelompok intelektual

Oleh: Shanty, Dina, Asri
Sistem diskriminasi rasial terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Sistem yang dikembangkan tersebut dikenal dengan Stelsel Kolonial. Masyarakat terbelah dalam beberapa strata yaitu orang Belanda asli/totok, Belanda Campuran, Timur Asing dan Bumi Putra (pribumi). Masyarakat pribumi ini masih memiliki tingkatan-tingkatan seperti golongan bangsawan, priyayi dan rakyat biasa.

Salah satu ciri masyarakat terjajah, adalah terbatasnya kaum cerdik pandai (intelektual). Jika ingin merubah semua itu tentunya bagaimana rakyat dapat memperoleh kesempatan belajar yang selama ini terjadi diskriminasi antara orang Belanda dengan kaum Bumi Putra. Dalam rangka mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran ternyata masih ada sekelompok masyarakat di Belanda yang peduli akan nasib rakyat Indonesia itu.

Pada tahun 1898, dalam majalah de Gids, dia menulis artikel berjudul Een Ereschuld (Hutang Kehormatan atau Hutang Budi). Dijelaskannya bahwa Belanda banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Telah begitu besar kekayaan Indonesia mengalir ke Belanda (politik batig slof). Untuk itu, perlu ada pengembalian kepada bangsa Indonesia oleh pemerintah Belanda, karena itu merupakan suatu hutang.

Terbatasnya kaum cerdik pandai oleh karena bidang pendidikan bukan menjadi prioritas Belanda. Pada masa VOC keinginan Belanda adalah bagaimana memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya diambil kebijakan monopoli perdagangan. Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mengakibatkan rakyat Indonesia menderita.
sistem pendidikan kolonial bersifat diskriminatif. Pada mulanya, diperkenalkan Sekolah Kelas Dua untuk anak-anak pribumi dan Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak pegawai negeri, orang-orang yang punya kedudukan dalam masyarakat, dan masyarakat golongan “berpunya”. Bagi golongan Eropa dan para bangsawan disediakan Sekolah Rendah. Sejak Abad ke-20 dibuka sistem sekolah desa atau Volksschool yang lamanya tiga tahun. Bagi yang akan melanjutkan, disediakan sekolah sambungan (Vervolgschool) selama dua tahun.
Perkembangan sistem pendidikan itu sebenarnya menjadi bumerang bagi Belanda di Indonesia. Walaupun sistem pendidikan Barat memperkenalkan sistem nilai Barat, akan tetapi rasa kebangsaan rakyat Indonesia tidaklah luntur. Hal itu terlihat dari munculnya semangat kebangsaan, yang kemudian menjadi sebuah gerakan. Muncullah tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan Surjadi Suryaningrat, tidak dapat dilepaskan dari adanya kemajuan dalam bidang pendidikan tersebut. Melalui ilmu yang diperoleh di bangku sekolah, kesadaran mereka justru tumbuh subur untuk menyusun kekuatan, yang kemudian menjelma menjadi organisasi modern. Semua itu tidak terlepas dari munculnya para intelektual yang akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional.

Untuk mendukung pelaksanaan Politik Etis, pemerintah Belanda mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik Asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi). Dengan Politik Asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadi suatu proses pembelandaan terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil. Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan unggul, sehingga politik Asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik. Belanda berperan sebagai Bapak dan Indonesia sebagai anak yang masih harus dibina

Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbare Aschool). Disamping itu juga ada beberapa sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normaal School
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Instituut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS (Geneeskundige Hogeschool).

Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pda tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi dokter Bumiputra (Inlandsch Arts). Sekolah ini diberi nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool).

Di atas telah dikatakan bahwa munculnya sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis. Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan mengingat salah satu dari Trilogi van Deventer secara eksplisit menyebutkan mengenai edukasi.